Perkembangan Islam Di Sulawesi Selatan
Berbagai
peninggalan sejarah dan purbakala di Sulawesi Selatan (Sulsel sampai sekarang
ini masih banyak yang belum terungkap, termasuk keberadaan masjid di
Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.
Kronologis
keberadaan Islam sebagai bukti sejarah, Islam di Sulsel masih membutuhkan
pengkajian yang mendalam supaya sejarahnya lebih objektif. Kehadiran budaya
Islam pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya agama Islam
sebagai agama resmi kerajaan. Agama Islam dibawah oleh para pedagang Muslim
dari Arab, Parsia, India, Cina, dan Melayu ke Ibu Kota Kerajaan Gowa, Somba
Opu.
Di Mangallekana
Pada
abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I Monggorai
Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang memberikan
fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di sekitar istana
kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan masjid di
Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah berdiri di
Sulsel.
Menurut
perkiraan, penduduk Makassar pada abad ke-16 sudah memeluk Islam. Mereka sudah
ada di masyarakat dan berbaur dengan masyarakat Gowa atau berinteraksi sosial
antar individu dan berintreraksi
jual-beli atau hubungan dagang. Itu berlansung lama.Suasana seperti ituberlangsung
lama di dalam wilayah Kerajaan Gowa dan di luar pusat Kerajaan Gowa utamanya
dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Ternate, Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan yang jauh lebih dahulu memeluk Islam.
Raja Gowa
Menurut
lontara, pada tahun 1605 Masehi, Islam diterima secara resmi di Kerajaan Tallo
dan Gowa disusul dengan masuknya Islam Raja Tallo I Sultan Abdullah Awwalul
Islam dengan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Dg Manrabbia Sultan Alauddin pada
tanggal 22 September 1605 Masehi.
Kedua
raja ini masuk Islam pada malam Jumat. Raja Tallo keesokkan hari langsung salat
Jumat di Masjid Tallo bersama rakyatnya yang Islam. Menurut catatan Harian
Lontarak yang mengizinkan Raja Tallo dan Raja Gowa masuk islam adalah khatib
Abdul Makmur Dato Ri Bandang asal Kota Minangkabau. Dua tahun kemudian, yakni
tahun 1607, seluruh rakyat Tallo dan Gowa telah berhasil diislamkan. Dengan
penekanan dakwa mengembangkan syariat Islam di kalangan rakyat, Dato Ri Bandang
berhasil menyebarkan Islan di kalangan karajaan.
Berbeda
dengan sahabatnya, khatib yang bungsu bernama Abdul Jawad yang menyebarkan
Islam di wilayah bahagian selatan Sulsel utamanya di Bulukumba yang menekankan
pelajaran Tasawwuf kepada rakyat sesuai dengan keinginan masyarakat yang lebih
menyukai hal-hal yang bersifat kabatinan. Khatib Abdul Jawad inilah yang
menjadi mubalig sampai akhir hayatnya di Tiro Kabupaten Bulukumba, sehingga
digelar sebagai Datok Ri Tiro.
Kerajaan Luwu
Khatib
Sulaiman yang menyebarkan Islam di Tanah Luwu berhasil mengislamkan Datu Luwu
La Patiware Dg Parrebung, kemudian diberi gelar Sultan Muhammad. Khatib
Sulaeman menyebarkan agama lebih menenkankan pada pengetahuan tauhid, yang
diajarkan kepada masyarakat yang berkaitan pada kepercayaan Dewa Seuwae.
Sebagai ganti Dewa Seuwae masyarakat
diajarkan untuk mempercayai adanya Allah SWT. Khatib Suleman meninggal di Luwu
Utara dan dimakamkan di Desa Patimang sehingga juga disebut Dato Patimang.
Suasana
masyarakat Sulsel pada sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 sibuk
mempelajari agama baru, Islam. Kala itu Islam disebarkan dan diajarkan oleh
ketiga ulama dari Minangkabau, Dato Ri Bandang, Datok Ri Tiro, dan Dato
Patimang. Ketiga penyiar Islam ini berkerja sama dengan bangsawan dan kerabat
kerajaan di istana raja. Para bangsawan dan kerabat kerajaan berusaha secara
berangsur-angsur mengetahui dan memahami ajaran-ajaran Islam melalui pengajian,
pengkajian Al Quran, salat berjamaah, dan diskusi-diskusi.
Melalui Pedagang
Kalau
kita melihat dari sumber sejarah, bahwa penyebaran Islam di Indonesia khususnya
di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang mengadakan kontak dagang
antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun dengan dagang antarnegara.
Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama Islam ke Sulsel adalah
pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar India, dan Iran.
Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu dan dari Jawa.
Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa sekitar tahun
1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.
Pengaruh
Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis padatahun 1511 M.
Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak kerajaan Islam di
Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di Pulau Jawa,
Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan pedagang-pedagang
Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di pesisir Pulau Jawa
sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan
didahului oleh proses islamisasi
yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.
Pengaruh Tionghoa
Sebagaimana
dicatat dalam sumber sejarah bahwa, Islam di Jawa juga disiarkan oleh seorang
pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang membawa seorang
pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan Surabaya, daerah di
pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di wilayah pesisir
utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan orang-orang pribumi
yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang Tionggoa itu. Kesadaran
orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang di Sulsel tidak lepas
dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke kepulauan nusantara
terutama di Maluku. Seorang Muslim dari Persi yang pernah
mengunjungi belahan timur Indonesia memberikan informasi tentang masuknya Islam
di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam
pada waktu itu kira-kira pada akhir abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan
tentang kehadiran Islam di kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di
Sulsel juga dibawa sayyid Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh
lewat Jawa (Pajajaran).
Sayyid
Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu Wijaya
yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar Al
Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang. Mereka
masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal di sana
sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam diterima
secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah ada di
masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu maupun
berkelompok.
Hak Istimewa
Pada
masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang dari Jawa
bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang memimpin
perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau. Rombongan
Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu Sulsel sudah
menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa, Malaka, dan Hindia.
Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang
orang-orang asing dari daerah itu. Sehubungan
dengan strategi orang-orang Melayu yang mendirikan kerajaan-kerajaan yang
berpaham Islam di sekitar Pulau Jawa, dalam lontara di jelaskan, Raja Gowa
ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590) bersahabat baik dengan
raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa memberikan fasilitas kepada
para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar Istana Kerajaan Gowa. Islam di
Sulsel mencapai puncak keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang ditandai dengan
berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial.