2013-01-07

Perkembangan Islam Di Sulawesi Selatan


Perkembangan Islam Di Sulawesi Selatan
Berbagai peninggalan sejarah dan purbakala di Sulawesi Selatan (Sulsel sampai sekarang ini masih banyak yang belum terungkap, termasuk keberadaan masjid di Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.

Kronologis keberadaan Islam sebagai bukti sejarah, Islam di Sulsel masih membutuhkan pengkajian yang mendalam supaya sejarahnya lebih objektif. Kehadiran budaya Islam pertama kali di Kerajaan Gowa jauh sebelum diterimanya agama Islam sebagai agama resmi kerajaan. Agama Islam dibawah oleh para pedagang Muslim dari Arab, Parsia, India, Cina, dan Melayu ke Ibu Kota Kerajaan Gowa, Somba Opu.

Di Mangallekana

Pada abad ke-15, yaitu pada masa pemerintahan Raja Gowa ke- 12 bernama I Monggorai Dg Mammeta Karaeng Bonto Langkasa Tunijallo (1565-1590) dialah yang memberikan fasilitas bagi para pedagang-pedagang Muslim untuk bermukim di sekitar istana kerajaan. Para pedagang juga diberi kemudahan untuk mendirikan masjid di Kampung Mangallekana. Ini merupakan masjid tertua yang pernah berdiri di Sulsel.

Menurut perkiraan, penduduk Makassar pada abad ke-16 sudah memeluk Islam. Mereka sudah ada di masyarakat dan berbaur dengan masyarakat Gowa atau berinteraksi sosial antar individu  dan berintreraksi jual-beli atau hubungan dagang. Itu berlansung lama.Suasana seperti ituberlangsung lama di dalam wilayah Kerajaan Gowa dan di luar pusat Kerajaan Gowa utamanya dalam hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Ternate, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang jauh lebih dahulu memeluk Islam.

Raja Gowa
Menurut lontara, pada tahun 1605 Masehi, Islam diterima secara resmi di Kerajaan Tallo dan Gowa disusul dengan masuknya Islam Raja Tallo I Sultan Abdullah Awwalul Islam dengan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Dg Manrabbia Sultan Alauddin pada tanggal 22 September 1605 Masehi.

Kedua raja ini masuk Islam pada malam Jumat. Raja Tallo keesokkan hari langsung salat Jumat di Masjid Tallo bersama rakyatnya yang Islam. Menurut catatan Harian Lontarak yang mengizinkan Raja Tallo dan Raja Gowa masuk islam adalah khatib Abdul Makmur Dato Ri Bandang asal Kota Minangkabau. Dua tahun kemudian, yakni tahun 1607, seluruh rakyat Tallo dan Gowa telah berhasil diislamkan. Dengan penekanan dakwa mengembangkan syariat Islam di kalangan rakyat, Dato Ri Bandang berhasil menyebarkan Islan di kalangan karajaan.

Berbeda dengan sahabatnya, khatib yang bungsu bernama Abdul Jawad yang menyebarkan Islam di wilayah bahagian selatan Sulsel utamanya di Bulukumba yang menekankan pelajaran Tasawwuf kepada rakyat sesuai dengan keinginan masyarakat yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat kabatinan. Khatib Abdul Jawad inilah yang menjadi mubalig sampai akhir hayatnya di Tiro Kabupaten Bulukumba, sehingga digelar sebagai Datok Ri Tiro.

Kerajaan Luwu
Khatib Sulaiman yang menyebarkan Islam di Tanah Luwu berhasil mengislamkan Datu Luwu La Patiware Dg Parrebung, kemudian diberi gelar Sultan Muhammad. Khatib Sulaeman menyebarkan agama lebih menenkankan pada pengetahuan tauhid, yang diajarkan kepada masyarakat yang berkaitan pada kepercayaan Dewa Seuwae.
Sebagai ganti Dewa Seuwae masyarakat diajarkan untuk mempercayai adanya Allah SWT. Khatib Suleman meninggal di Luwu Utara dan dimakamkan di Desa Patimang sehingga juga disebut Dato Patimang.

Suasana masyarakat Sulsel pada sekitar akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 sibuk mempelajari agama baru, Islam. Kala itu Islam disebarkan dan diajarkan oleh ketiga ulama dari Minangkabau, Dato Ri Bandang, Datok Ri Tiro, dan Dato Patimang. Ketiga penyiar Islam ini berkerja sama dengan bangsawan dan kerabat kerajaan di istana raja. Para bangsawan dan kerabat kerajaan berusaha secara berangsur-angsur mengetahui dan memahami ajaran-ajaran Islam melalui pengajian, pengkajian Al Quran, salat berjamaah, dan diskusi-diskusi.

Melalui Pedagang

Kalau kita melihat dari sumber sejarah, bahwa penyebaran Islam di Indonesia khususnya di Sulsel dilakukan oleh parah saudagar Muslim yang mengadakan kontak dagang antarpulau baik dengan pedagang dalam negeri maupun dengan dagang antarnegara. Dapatlah dipahami bahwa yang mula-mula membawa agama Islam ke Sulsel adalah pelaut-pelaut dari Arab, kemudian saudagar-saudagar India, dan Iran. Selanjutnya Islam disiarkan oleh pedagang-pedagang dari Melayu dan dari Jawa. Berdasarkan kajian sejarah Islam sudah berpengaruh di Jawa sekitar tahun 1500-1550 M yaitu pada masa pemerintahan Kerajaan Demak.

Pengaruh Islam semakin kuat setelah Malaka direbut oleh Portugis padatahun 1511 M. Setelah jatuhnya Malaka ketangan Portugis, semakin banyak kerajaan Islam di Pulau Jawa dan sekitarnya. Kerajaan di pesisir pantai di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulsel dan Maluku mulai berinteraksi dengan pedagang-pedagang Melayu yang beragama Islam. Berdirinya kerajaan-kerajaan di pesisir Pulau Jawa sekitar tahun 1500-1550 M berlangsung secara bertahap dan
didahului oleh proses islamisasi yang berkesinambungan di kalangan masyarakat.

Pengaruh Tionghoa

Sebagaimana dicatat dalam sumber sejarah bahwa, Islam di Jawa juga disiarkan oleh seorang pelancong Tionghoa Muslim bernama Ma Huan. Ma Huan yang membawa seorang pembesar Tiongkok, kala itu, mengunjungi Tuban, Gresik, dan Surabaya, daerah di pesisir utara Pulau Jawa. Sebangian besar orang Tionghoa di wilayah pesisir utara Pulau Jawa pada tahun 855 M telah memeluk Islam dan orang-orang pribumi yang penyembah berhala ikut memeluk Islam seperti orang Tionggoa itu. Kesadaran orang-orang Melayu memeluk Islam tumbuh dan berkembang di Sulsel tidak lepas dari aktivitas perdagangan yang berlangsung sampai ke kepulauan nusantara terutama di Maluku. Seorang Muslim dari Persi yang pernah mengunjungi belahan timur Indonesia memberikan informasi tentang masuknya Islam di Sulsel. Ia mengatakan bahwa di Sula (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam pada waktu itu kira-kira pada akhir abad ke-2 Hijriah. Dia juga yang mengabarkan tentang kehadiran Islam di kalangan masyarakat Sulsel. Menurut dia, Islam di Sulsel juga dibawa sayyid Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang datang dari Aceh lewat Jawa (Pajajaran).
Sayyid Jamaluddin datang atas undangan raja yang masih beragama Budha, Prabu Wijaya yang memerintah Pajajaran pada tahun 1293-1309. Sayyid Jamaluddin Akbar Al Husaini melanjutkan perjalanan ke Sulsel bersama rombongannya 15 orang. Mereka masuk ke daerah Bugis dan menetap di Ibu Kota Tosorawajo dan meninggal di sana sekitar tahun 1320 M. Inilah suatu bukti bahwa jauh sebelum Islam diterima secara resmi sebagai agama kerajaan di Sulsel pemahaman Islam sudah ada di masyarakat lewat interaksi sosial dan hubungan dagang antar individu maupun berkelompok.


Hak Istimewa
Pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-10, di Sulsel pernah menetap seorang dari Jawa bernama Anakoda Bonang yang membawa saudagar melayu Muslim yang memimpin perdagangan dari Pahang, Patani, Johor, Campa, dan Minangkabau. Rombongan Anakoda Bonang ini diberi hak istimewa oleh raja. Pada masa itu Sulsel sudah menjalin hubungan dengan berbagai daerah di Sumatera, Jawa, Malaka, dan Hindia. Di Makassar, pada masa itu, sudah ada koloni dagang
orang-orang asing dari daerah itu. Sehubungan dengan strategi orang-orang Melayu yang mendirikan kerajaan-kerajaan yang berpaham Islam di sekitar Pulau Jawa, dalam lontara di jelaskan, Raja Gowa ke-12, I Manggorai Daeng Mammeta Tunijallo (1565-1590) bersahabat baik dengan raja-raja di Pulau Jawa bagian barat. Raja Gowa memberikan fasilitas kepada para saudagar Muslim untuk menetap di sekitar Istana Kerajaan Gowa. Islam di Sulsel mencapai puncak keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang ditandai dengan berlakunya syariat Islam dalam berinteraksi sosial.